I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam proses intensifikasi sekarang ini berbagai kendala sosial-ekonomi
dan teknis bermunculan. Masalah organisme pengganggu tanaman (OPT, hama – penyakit – gulma) yang
mengakibatkan penurunan dan ketidakmantapan produksi belum dapat diatasi dengan
memuaskan. Kehilangan hasil akibat OPT diperkirakan 40 – 55 %, bahkan bisa
terancam gagal.
Dilema yang dihadapi para petani saat ini
adalah bagaimana cara mengatasi masalah OPT tersebut dengan pestisida sintetis.
Di satu pihak dengan pestisida sintetis, maka kehilangan hasil akibat OPT dapat
ditekan, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di pihak lain, tanpa
pestisida kimia akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal
tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi
terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang
siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan
residu pestisida yang melebihi ambang toleransi.
Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu
zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah
laku, bertelur, perkembang biakan, mempengaruhi hormon, penghambat makan,
membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi OPT. Tidak kita pungkiri bahwa dengan pestisida sintetis telah
berhasil menghantarkan sektor pertanian menuju terjadinya “revolusi hijau”,
yang ditandai dengan peningkatan hasil panen dan pendapatan petani secara
signifikan, sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan pada tahun 1986.
Dalam revolusi hijau target yang akan dicapai adalah berproduksi cepat dan
tinggi, sehingga diperlukan teknologi masukan tinggi diataranya penggunaaan
varietas unggul, pemupukan berat dengan pupuk kimia, pemberantasan hama dan
penyakit dengan obat-obatan kimia. Pada tahun ini konsepsi untuk menanggulangi
OPT ialah pendekatan UNILATERAL, yaitu menggunakan satu cara saja, PESTISIDA.
Ketika itu pestisida
sangat dipercaya sebagai “ASURANSI” keberhasilan produksi, tanpa pestisida
produksi sulit atau tidak akan berhasil. Karena itu pestisida disubsidi sampai
sekitar 80 % dari harganya, hingga petani dapat membelinya dengan harga
“murah”. Sistem penyalurannya pun diatur sangat rapih dari pusat sampai ke
daerah-daerah. Pestisida diaplikasikan menurut jadwal yang telah ditentukan,
tidak memperhitungkan ada hama atau tidak. Pemikiran ketika itu ialah
“melindungi” tanaman dari kemungkinan serangan hama. Promosi pestisida yang
dilakukan oleh para pengusaha pestisida sangat gencar melalui demontrasi dan
kampanye. Para petani diberi penyuluhan yang intensif, bahwa hama-hama harus
diberantas dengan insektisida. Dalam perlombaan hasil intensifikasi, frekuensi
penyemprotan dijadikan kriteria, makin banyak nyemprot, makin tinggi nilainya.
1.2.
Kebijakan Masalalu Mendorong
Petani Menggunakan Pestisida
Peningkatan pembangunan
pertanian di Indonesia, menyebabkan kebutuhan akan pestisida
bertambah banyak, baik jumlah maupun jenisnya.. Mencermati kilas balik
pembangunan pertanian di Indonesia, peningkatan penggunaan pestisida tidak
terlepas dari peran pemerintah. Sejak tahun permulaan pelaksanaan program
intensifikasi pangan, masalah hama diusahakan ditanggulangi dengan berbagai
jenis formulasi pestisida. Orientasi pemerintah pada waktu itu
tertumpu pada peningkatan hasil sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dampak
negatif terhadap lingkungan. Pada saat dicanangkannya program intensifikasi
pangan melalui program nasional BIMAS, pestisida telah dimasukkan sebagai paket
teknologi yang wajib digunakan petani peserta. Bagi petani yang tidak
menggunakan pestisida, oleh pemerintah dianggap tidak layak sebagai penerima
bantuan BIMAS. Akibatnya, mau tidak mau petani dirangsang menggunakan
pestisida. Bahkan pada waktu itu, pemerintah bermurah hati memberi subsidi
pengadaan pestisida hingga mencapai 80 persen, sehingga harga
pestisida di pasaran menjadi sangat murah. Tidak itu saja, termasuk
jenis pestisida yang digunakan, hingga keputusan penggunaannya (jadwal
aplikasi) diatur oleh pemerintah.
Jenis pestisida yang
dianjurkan digunakan pada waktu itu umumnya adalah pestisida yang berdaya
bunuh berspektrum luas, yaitu mampu membunuh sebahagian besar organisma yang
dikenainya, termasuk organisma berguna seperti musuh alami hama dan organisma
bukan target lainnya yang hidup berdampingan dengan organisma pengganggu
tanaman. Program penyuluhan pertanianpun merekomendasikan aplikasi
pestisida secara terjadwal dengan sistem kalender, tanpa
memperhatikan ada atau tidak ada hama yang menyerang tanaman di lapangan. Sehingga
frekuensi penyemprotan menjadi lebih intensif, dan biasa dilakukan
setiap minggu sepanjang musim tanam.
Kebijakan perlakuan
seperti disebut dimuka, tidak selamanya menguntungkan. Hasil
evaluasi memperlihatkan, timbul kerugian yang tidak disadari
yang sebelumnya tidak diperkirakan. Beberapa kerugian yang muncul
akibat pengendalian organisma pengganggu tanaman yang semata-mata mengandalkan
pestisida, antara lain menimbulkan kekebalan (resistensi) hama, mendorong
terjadinya resurgensi, terbunuhnya musuh alami dan jasad non target, serta
dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi hama sekunder.
II.
PESTISIDA
PERTANIAN
2.1. Dampak Negatif Pestisida Pertanian
Memang kita akui,
pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi
jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah
dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta
mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain, secara
ekonomi penggunaan pestisida relatif menguntungkan. Namun, bukan
berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.
Akhir-akhir ini
disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau
bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian,
terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri,
bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat
penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak
buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida
berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh
buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan
perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.
2.2. Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap
Kesehatan Manusia
Apabila penggunaan
pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang
yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi
kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu
digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.
Kecelakaan akibat
pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang
langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing
ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata
berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang,
pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut
umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan
kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
Kadang-kadang para
petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga
dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi
keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot
sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik,
tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan
hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin,
sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat
pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang
tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi sering
tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang
ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang
rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Secara tidak sengaja,
pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan
pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam
tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan
keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah
selang waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun.
Keracunan kronis akibat
pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat
bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan
genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran anak
cacad dari ibu yang keracunan).
Pestisida dalam bentuk
gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang
berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke
dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health
Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan
pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang
sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan
penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan
peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan
kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang
memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000
orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan.
Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi pestisida
sintesis.
Selain keracunan
langsung, dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang
awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan
pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun (residu) pestisida yang
ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan
makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah
kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap
hari. Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada
tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman
tersebut. Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.
Dewasa ini, residu
pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan
manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman
sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan
lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan
frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam
semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi
pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan
tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi
sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi
menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental.
Belakangan ini, masalah
residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima
atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya
residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini
produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu
pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai
Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena
residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur
dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri.
Tetapi kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan
kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak
konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu pestisida
yang tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas..
Pada
tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang
penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil
pertanian. Namun pada kenyatannya, belum banyak pengusaha
pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk
pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang
tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali
hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas,
membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta
terpuruk di pasar global.
2.3. Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap
Kualitas Lingkungan
Masalah yang banyak
diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan
adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang
pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan.
Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan
fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan
hidup manusia semakin menurun.
Pestisida sebagai bahan
beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin,
melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu
pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa
jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa
hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini
residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita.
Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif
terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun
serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada
lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah
diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di
udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam
makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh
memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran
pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang
disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target
aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Pencemaran pestisida
yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air
pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air
terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi
tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap
mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh
ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
Di dalam air, partikel
pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh
karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam
tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali
dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam
air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan
dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena
sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam
tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali
dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton-zooplankton tersebut
dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan
tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida
di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen
yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan
menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Model pencemaran
seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari
aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang
dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang
menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri
PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara
negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Kasus
pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat
dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat
sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap
organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya
spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies
dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat
diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida
adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama,
invertebrata, dan bangsa burung.
2.4. Pestisida Meningkatkan Perkembangan
Populasi Jasad Penganggu Tanaman
Tujuan
penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi
dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad
pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal
ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak
penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan
mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa
meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. Berikut ini
diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi
peningkatan perkembangan populasi hama:
1. Munculnya
Ketahanan (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida
Munculnya resistensi
adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama
terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi
alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun
setelah penggunaan pestisida DDT, diketahui muncul strainserangga
yang resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500
spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok
insektisida.
Mekanisme
timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu
populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan
lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar
individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak
individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup.
Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin
disebabkan terhindar dari efek racun pestisida, atau sebahagian
karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin
disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu
menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan
menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena
itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak
individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang
benar-benar resisten.
2. Resurgensi
Hama
Peristiwa resurgensi
hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi
hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat
lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi
efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.
Resurjensi
hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga
membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap
penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan karena populasi
mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan
dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami
beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada
pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam
jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi
tidak berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera
setelah penyemprotan.
3. Ledakan
Populasi Hama Sekunder
Dalam
ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan
banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida
adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan
hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan
penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi
pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang
merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat
penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya
membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga
berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan
populasi hama sekunder.
III.
PESTISIDA
MASA DEPAN
3.1. Adakah Pestisida Yang Ideal ?
Para ahli kimia tidak
henti-hentinya mencoba mencari pestisida yang ideal. Kemajuan telah banyak
diperoleh, tetapi sebegitu jauh, pestisida yang benar-benar ideal belum ada.
Dilihat dari berbagai sumber, sifat-sifat ideal yang seyogianya dimiliki oleh
pestisida adalah sebagai berikut:
1. Sifat
Biologi
a. Efikasi
biologis optimal (dengan kata lain efektif dan ampuh).
b. Takaran
aplikasi rendah, tidak terlampau membebani lingkungan.
c. Toksisitas
terhadap mamalia rendah, sehingga kurang membahayakan pengguna, konsumen, dan
lingkungan.
d. Sasaran
spesifik, khususnya untuk insektisida.
e. Selektif.
f. Tidak
cepat menimbulkan resisten dan resurjensi.
2. Sifat
Fisik-Kimia
a. Tidak
persisten.
b. Tidak
mudah menembus kulit manusia.
3. Formulasi
a. Diformulasikan
dalam bentuk yang mendukung keselamatan pengguna, konsumen, dan lingkungan.
b. Formulasinya
cukup stabil.
c. Mudah
diaplikasikan.
Hal
tersebut diatas merupakan hal-hal fundamental yang menjadi perhatian intensif
dalam pembenahan dan meminimalisasi dampak-dampak yang timbul dari aplikasi
pestisida. Sehingga penggunaan pestisida masa depan yang ramah lingkungan yang
memiliki efikasi tinggi menjadi bentuk alternatif dalam aplikasi pestisida.
3.2. Biopestisida Sebagai Alternatif Pendekatan
Masa Depan
Biopestisida ialah
agen biologi atau produk-produk alam yang digunakan untuk mengontrol hama pada
tanaman.
Biopestida juga
diistilahkan sebagai pestisida biorasional. Artinya, tidak mengakibatkan
pemusnahan total dari populasi hama yang ada dan organisme lain yang tidak
menjadi target perlakuan. Lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat
(US-EPA) memilahnya menjadi tiga kelompok besar. Pemilahan ini banyak menjadi
rujukan lembaga lain di dunia, termasuk Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO)
serta Badan Kesehatan Dunia (WHO).
§ Pestisida
microbial (microbial pesticide), yaitu jenis produk biopestisida yang
mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, protozoa) sebagai bahan
aktif. Secara sempit, kelompok ini sering disebut sebagai agen pengendalian
hayati atau agen hayati (biological control agens).
§ Protektan
Bagian Integral Tanaman (PBIT) atau Plant Incoporated Protectants (PIPs), yaitu
bahan materi genetik bersifat pestisidal artinya faktor keturunan (DNA) yang
dapat membentuk senyawa bersifat racun ditambahkan atau dimasukkan kedalam
tanaman. Kelompok ini sering disebut sebagai tanaman transgenik (transgenic
plant pesticide).
§ Pestisida
biokimia (biochemical pesticide), yaitu bahan alami (natural product) yang
digunakan untuk mengendalikan hama dengan mekanisme nontoksik. Yang termasuk
bahan alami ini antara lain feromonoid seks (sex pheromone) dan berbagai
ekstrak tanaman yang dapat memikat serangga hama. Pestisida yang berasal dari
tanaman juga termasuk ke dalam kelompok pestisida biokimia.
3.3.
Jenis-Jenis Biopestisida
Cakupan biopestisida
sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup yang dapat difungsikan
sebagai agen pengendali hayati organisme penganggu tanaman. Sementara jenis dan
macamnya disesuaikan dengan sasaran target organisme penganggu. Misalnya untuk
hama serangga disebut bioinsektisida, untuk jamur atau fungi disebut
biofungisida, dan untuk gulma disebut dengan bioherbisida.
1. Bioinsektisida
dan Biofungisida
Bioinsektisida adalah
semua organisme hidup (baik itu bakteri, virus, jamur/kapang, protozoa,
tanaman, hewan) yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama.
Biofungisida adalah
semua jenis organisme hidup yang digunakan untuk mengendalikan jamur yang
berperan sebagai hama atau patogen. Berbeda dengan bioinsektisida yang pada
awalnya dikembangkan oleh para ahli entamologi. Pengembangan biopestisida lebih
banyak dilakukan oleh para ahli fitopatologi.
Pada table 1 diberikan
contoh produk dari kelompok bakteri dan jamur yang telah dikemas menjadi produk
komersial dan diproduksi oleh berbagai perusahan dalam berbagai merek dagang.
2. Bioherbisida
Bioherbisida ditujukan
untuk pengendalian gulma atau tanaman pengganggu. Gangguan yang dimaksud
umumnya karena faktor kompetisi akan kebutuhan hidup. Gulma pada umumnya mampu
hidup pada kondisi lingkungan kristis dan cepat berkembang pada habitat yang
subur. Kompetisi bias terjadi karena kebutuhan nutrisi, cahaya, ruang, udara,
dan lain sebagainya. Selain itu, gulma juga menghasilkan zat racun (alelopati)
yang dapat mematikan tanaman lain atau tanaman budidaya.
Penelitian dan
pengembangan bioherbisida sampai saat ini banyak dilakukan di Amerika dan
beberapa negara Asia. Dalam pengembangannya, ternyata lebih luas lagi
penelitian aplikasinya. Dilaporkan oleh Andrew Cockburn (2000), yaitu
direncanakan digunakan sebagai bagian dalam perang biologi (biowar) untuk
pemusnahan tanaman adiktif, seperti direncanakan untuk pemusnahan tanaman
kokain dan opium di Columbia yang di sponsori oleh Amerika Serikat. Di
Indinesia sendiri, tampaknya kurang mendapat perhatian, mungkin saja karena
dominasi kasus hama dan penyakit tanaman berbeda.
Inventarisasi
yang dilakukan oleh Charudatan (2001), kurang lebih ada 86 jenis gulma dan
jamur patogen yang potensial ada sekitar 98 jenis. Dari sekian banyak, baru 5
jenis yang telah terintegrasi secara komersial yaitu, Colletotrichum gloeosporides (Collego®)(BioMal®),
Phytophthora palmivora (DeVine®),
Puccinia canalichlata (Dr. Biosedge®),
Cercospora rodmanii (ABG 5003®),
Alternaria cassia (Casst®).
3. Tanaman
Transgenik
Tanaman
transgenik adalah tanaman yang merupakan hasil persilangan langsung dari faktor
keturunan atau sering disebut sebagai GMO atau alur keturunan yang dilakukan
melalui teknologi DNA rekombinan untuk mengatasi hama tetapi masih kurang
diterima dan didukung secara legal. Oleh karenanya diperlukan penelitian lebih
seksama baik terhadap lingkungan, masalah keanekaragaman hayati, dll. Pertanian
skala kecil yang dilakukan dalam jangka waktu lama dapat dilakukan untuk
meyakinkan biosafety dari tanaman GMO tersebut.
3.4. Manfaat dan Faktor Resiko Biopestisida
Untuk
menjelaskan manfaat dan faktor resiko biopestisida tentu harus ada pembanding,
yaitu pestisida kimia yang banyak digunakan dalam pengendalian OPT. memang
tidak dapat dihindari bahwa setiap barang yang digunakan selalu mengandung
manfaat dan resiko. Yang harus dipertimbangkan adalah seberapa besar akibat
dari resiko yang ditimbulkannya.
1. Manfaat
Biopestisida
Jika
dilihat dari beberapa aspek, manfaat biopestisida cukup banyak, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Aspek
sosial ekonomi
Pengendalian hama dan
penyakit tanaman merupakan salah satu runutan pada proses produksi pertanian.
Penelitian dampak sosial ekonomi penerapan PHT pada tanaman pangan indosesia
memang relatif sedikit. Artinya, pengendalian OPT dengan menggunakan beberapa
cara serempak satu diantaranya yaitu dengan menggunakan biopestisida. Namun,
dari demplot-demplot pelatihan dan penyuluhan PHT yang pernah dilakukan
memberikan indikasi bahwa petani HPT memperoleh hasil panen dan keuntungan yang
lebih tinggi serta pemakaian pestisida kimia lebih sedikit.
Penelitian
yang dilakukan oleh Banbrook (1996) dan Oka (1996) bahwa di negara berkembang
dan negara sedang berkembang, penerapan aplikasi biopestisida dalam kesatuan
PHT pada usaha tani dapat menurunkan penggunaan insektisida kimia 50%-100%
tanpa kehilangan hasil panen. Hasil panen meningkat dan kompensasi biaya
saprodi yang lebih rendah, secara tidak langsung akan memberikan dampak ekonomi
yang lebih menguntungkan dalam usaha tani.
b. Aspek
lingkungan
Isu dampak lingkungan
dari penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman
telah divalidasi oleh berbagai pihak, terutama FAO dan WHO. Pestisida kimia
termasuk satu faktor yang dapat membahayakan keselamatan hayati, termasuk
manusia dan keseimbangan ekosistem.
Dari kondisi yang cukup
memprihatinkan terhadap lingkungan tersebut, muncullah pemikiran ulang untuk
untuk menggunakan biopestisida dalam mengendalikan hama OPT. diharapkan
biopestisida dapat mengurangi laju dampak negatif dari penggunaan pestisida
yang selama ini dilakukan. Berikut ini beberapa kelebihan biopestisida secara
umum serta keuntungan pestisida microbial dan pestisida nabati.
1) Kelebihan
biopestisida secara umum
-
Umumnya, biopestisida kurang beracun
dibandingkan pestisida konvensional sehingga resiko bahaya yang ditimbulkan
juga lebih kecil.
-
Umumnya, biopestisida hanya berpengaruh
pada hama sasaran dan organisme lain yang berdekatan kerabatnya. Berbeda dengan
pestisida konvensional yang berspektrum luas yaitu dapat membunuh organisme
nontarget.
-
Biopestisida umumnya efektif pada jumlah
(dosis) rendah dan cepat terurai sehingga pemaparannya lebih rendah dan
terhindar dari masalah pencemaran. Lain halnya dengan pestisida konvensional
yang sering kali menimbulkan dampak residu.
-
Penggunaan biopestisida dalam program
PHT dapat mengurangi banyak sekali penggunaan pestisida konvensional dengan
hasil panen tetap tinggi.
2) Kelebihan
pestisida microbial
-
Tidak meninggalkan residu bahan beracun.
-
Jika digunakan dengan tepat dan benar,
resiko terhadap perkembangan resistensi hama sasaran kecil sekali.
-
Tidak mengakibatkan timbulnya ledakan
hama skunder.
-
Kompatibel dengan banyak jenis pestisida
kimia, parasitoid, predator, dan patogen lainnya.
-
Memungkinkan pengendalian hama jangka
panjang.
-
Kemampuan produksi masal dengan patogen
fakultatif.
3) Kelebihan
pestisida nabati
-
Mempunyai sifat cara kerja (mode of
action) yang unik yaitu tidak meracuni (nontoxic).
-
Penggunaanya dalam dosis yang rendah.
-
Mudah diperoleh di alam.
-
Cara pembuatannya relatif mudah dan
secara social ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani mikro di negara
sedang berkembang.
c. Aspek
budidaya pertanian
Manfaat ditinjau dari
aspek budidaya adalah menguntunkan pada saat aplikasi biopestisida yang tidak
perlu intensif dalam melindungi tanaman.
Pestisida kimia umumnya
bekerja dan keberadaanyan di dalam tanah hanya pada tenggang waktu yang relatif
singkat sehingga menghasilkan residu akibat persistensi. Berbeda dengan
biopestisida khususnya seperti biofungisida yang sekarang banyak dipasarkan
yaitu bersifat melindungi sistem perakaran, menempel pada tanah dan akar, serta
tidak terlarut oleh air. Kelebihan lainnya, mikrobia yang digunakan juga
mengeluarkan bahan aktif seperti hormone pertumbuhan yang dapat memacu
pertumbuhan akar tanaman sehingga sistem perakaran lebih sempurna yang akan
berpengaruh pada produksi tanaman budidaya.
2. Faktor
Resiko Biopestisida
Menurut Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), resiko yang di timbulkan
biopestisida terhadap lingkungan relatif kecil jika dibandingkan bahan kimia
sintetis. Hal ini disebabkan oleh bahan penyusun biopestisida sebagian besar
adalah bahan alam. Namun, dalam beberapa hal terdapat jenis-jenis mikroba
tertentu yang dapat menyebabkan infeksi toksis pada hewan dan manusia. Pada
jenis jamur yang patogen terhadap serangga seperti Beauveria sp. dan Metarhizum sp.,
ada yang diduga dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Di dalam Journal
Clinical Microbiology, para peneliti menemukan sejenis jamur Beauveria sp. yang menginfeksi jaringan
dalam tubuh pasiennya dan menimbulkan gejala gatal-gatal, korengan, dan kulit
melepuh.
Demikian pula dengan
tanaman transgenik walaupun dapat dikatakan sukses, tetapi hingga saat ini
masih banyak perdebatan antara pakar dan peneliti tentang dampak jangka panjang
dan potensi terhadap lingkungan. Kekhawatiran itu timbul dengan alasan sebagai
berikut:
a. Kemungkinan
akan terjadi persilangan dan penyisipan faktor keturunan pada tanaman
nontarget.
b. Tanaman
transgenik cenderung mendominasi populasi pada suatu kawasan tertentu.
IV.
PENUTUP
Berbagai dampak negatif
yang ditimbulkan pemakaian pestisida yang tidak bijaksana, semoga menggugah
kesadaran kita untuk tidak selamanya bergantung kepada pestisida. Untuk
menanggulangi organisme pengganggu tanaman, masih terdapat
teknologi lain yang dapat diterapkan, yang relative tidak
berdampak negatif bagi manusia demikian juga bagi lingkungan hidup. Pestisida
seharusnya tidak lagi “didewakan” sebagai satu-satunya teknologi penyelamat
produksi. Melainkan disarankan digunakan hanya bila perlu saja sebagai
alternatif terakhir. Sedapat mungkin penggunaanya diupayakan dengan
bijaksana.
Sejalan dengan maksud
tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1986 telah mengeluarkan
kebijakan dan tindakan yang dapat membatasi dan mengurangi penggunaan
pestisida. Melalui Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 program penanganan
organisma pengganggu tanaman adalah dengan menerapkan prinsip
pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai program nasional, yang merupakan upaya
untuk mengantisipasi dampak buruk pemakaian pestisida.
Penggunaan biopestisida
sebagai alternatif pengendalian OPT serta Pengarahan dan penggunaan yang lebih
tepat kepada para penggunaan dalam hal pemberian dosis, waktu aplikasi, cara
kerja yang aman. Di masa yang akan datang diharapkan penggunaan pestisida akan berkurang.
Dan didukung oleh adanya penemuan-penemuan biopestisida baru yang lebih efektif
dalam mengatasi gangguan dari jasad pengganggu ini sebagai pestisida masa
depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bottrel, D.G. 1979. Integrated Pest Management. Council of Environ. Quality. Washington D.C.
Djojosumarto,
Panut. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida
Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan
Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap
Lingkungan. Seminar terbatas 19 Maret 1981 Lembaga Ekologi
Unpad Bandung.
Kenmore, P.E. 1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter. VII (7). IRRI. Manila. Philippines.
Mc Ewen, F.L. and G.R.Stephenson. 1979. The Use and Significance of Pestiside
in The Environment. A Wiley Intercience Publication. John Wiley
& Sons, New York.
Mulyani, S. dan M. Sumatera. 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk
Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan
Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Pimentel, D. 1971. Ecological Effects of Pesticides on
Nontarget Species. Office of Science and Technology. Washington
D.C. Stack Number 4106-0029.
Pimentel, D. 1982. Environmental Aspects of Pest
Management. Chemistry and World Food Suplies. Chemrawn II. Pergamon Press.
Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.
Smith, R.F.1978. Distory and Complexity of
Integrated Pest Management. In:Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.
Suwahyono,
Untung. 2009. Cara Membuat dan Petunjuk
Penggunaan Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.