Minggu, 30 Oktober 2011

Biopestisida Sebagai Alternatif Pestisida Masa Depan


I.                  PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam proses intensifikasi sekarang ini berbagai kendala sosial-ekonomi dan teknis bermunculan. Masalah organisme pengganggu tanaman (OPT, hama – penyakit – gulma) yang mengakibatkan penurunan dan ketidakmantapan produksi belum dapat diatasi dengan memuaskan. Kehilangan hasil akibat OPT diperkirakan 40 – 55 %, bahkan bisa terancam gagal.
Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah bagaimana cara mengatasi masalah OPT tersebut dengan pestisida sintetis. Di satu pihak dengan pestisida sintetis, maka kehilangan hasil akibat OPT dapat ditekan, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di pihak lain, tanpa pestisida kimia akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi.
Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah laku, bertelur, perkembang biakan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT. Tidak kita pungkiri bahwa dengan pestisida sintetis telah berhasil menghantarkan sektor pertanian menuju terjadinya “revolusi hijau”, yang ditandai dengan peningkatan hasil panen dan pendapatan petani secara signifikan, sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan pada tahun 1986. Dalam revolusi hijau target yang akan dicapai adalah berproduksi cepat dan tinggi, sehingga diperlukan teknologi masukan tinggi diataranya penggunaaan varietas unggul, pemupukan berat dengan pupuk kimia, pemberantasan hama dan penyakit dengan obat-obatan kimia. Pada tahun ini konsepsi untuk menanggulangi OPT ialah pendekatan UNILATERAL, yaitu menggunakan satu cara saja, PESTISIDA.
Ketika itu pestisida sangat dipercaya sebagai “ASURANSI” keberhasilan produksi, tanpa pestisida produksi sulit atau tidak akan berhasil. Karena itu pestisida disubsidi sampai sekitar 80 % dari harganya, hingga petani dapat membelinya dengan harga “murah”. Sistem penyalurannya pun diatur sangat rapih dari pusat sampai ke daerah-daerah. Pestisida diaplikasikan menurut jadwal yang telah ditentukan, tidak memperhitungkan ada hama atau tidak. Pemikiran ketika itu ialah “melindungi” tanaman dari kemungkinan serangan hama. Promosi pestisida yang dilakukan oleh para pengusaha pestisida sangat gencar melalui demontrasi dan kampanye. Para petani diberi penyuluhan yang intensif, bahwa hama-hama harus diberantas dengan insektisida. Dalam perlombaan hasil intensifikasi, frekuensi penyemprotan dijadikan kriteria, makin banyak nyemprot, makin tinggi nilainya.
1.2. Kebijakan Masalalu Mendorong Petani Menggunakan Pestisida
Peningkatan pembangunan pertanian di Indonesia,  menyebabkan kebutuhan akan pestisida bertambah banyak, baik jumlah maupun jenisnya.. Mencermati kilas balik pembangunan pertanian di Indonesia, peningkatan penggunaan pestisida tidak terlepas dari peran pemerintah. Sejak tahun permulaan pelaksanaan program intensifikasi pangan, masalah hama diusahakan ditanggulangi dengan berbagai jenis  formulasi pestisida. Orientasi pemerintah pada waktu itu tertumpu pada peningkatan hasil sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada saat dicanangkannya program intensifikasi pangan melalui program nasional BIMAS, pestisida telah dimasukkan sebagai paket teknologi yang wajib digunakan petani peserta. Bagi petani yang tidak menggunakan pestisida, oleh pemerintah dianggap tidak layak sebagai penerima bantuan BIMAS. Akibatnya, mau tidak mau petani dirangsang menggunakan pestisida. Bahkan pada waktu  itu, pemerintah bermurah hati memberi subsidi pengadaan pestisida hingga mencapai 80 persen, sehingga harga pestisida  di pasaran menjadi sangat murah. Tidak itu saja, termasuk jenis pestisida yang digunakan, hingga keputusan penggunaannya (jadwal aplikasi) diatur oleh pemerintah.
Jenis pestisida yang dianjurkan digunakan pada waktu itu umumnya adalah pestisida yang berdaya bunuh berspektrum luas, yaitu mampu membunuh sebahagian besar organisma yang dikenainya, termasuk organisma berguna seperti musuh alami hama dan organisma bukan target lainnya yang hidup berdampingan dengan organisma pengganggu tanaman. Program penyuluhan pertanianpun  merekomendasikan aplikasi pestisida   secara terjadwal dengan sistem kalender, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada hama yang menyerang tanaman di lapangan. Sehingga frekuensi penyemprotan menjadi lebih intensif, dan  biasa dilakukan setiap minggu sepanjang musim tanam.
Kebijakan perlakuan seperti disebut dimuka,  tidak selamanya menguntungkan. Hasil evaluasi memperlihatkan, timbul kerugian yang tidak disadari yang  sebelumnya tidak diperkirakan. Beberapa kerugian yang muncul akibat pengendalian organisma pengganggu tanaman yang semata-mata mengandalkan pestisida, antara lain menimbulkan kekebalan (resistensi) hama, mendorong terjadinya resurgensi, terbunuhnya musuh alami dan jasad non target, serta dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi hama sekunder.


II.               PESTISIDA PERTANIAN
2.1. Dampak Negatif Pestisida Pertanian
Memang kita akui, pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain,  secara ekonomi  penggunaan pestisida relatif menguntungkan. Namun, bukan berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya  pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.
2.2. Pengaruh Negatif Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia
Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.
Kecelakaan  akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan.  Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi  luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja  dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan  dosis aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang  waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun.
Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).
Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat  masuk ke dalam  jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi  pestisida sintesis.
Selain  keracunan langsung,  dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi  akibat sisa racun (residu)  pestisida  yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari.  Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut.  Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.
Dewasa ini, residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia.  Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan  dalam jaringan tubuh  bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat  tubuh sekaligus cacat mental.
Belakangan ini, masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi  kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri,  dengan alasan kandungan residu pestisida yang  tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas..
 Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.  Namun pada kenyatannya,  belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global.
2.3. Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap Kualitas Lingkungan
Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan,  pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun.
Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu  yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap  organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota  bukan sasaran.
Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada  yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton  akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton-zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula  konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan  besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung.
2.4. Pestisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Penganggu Tanaman
Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama:
1.      Munculnya Ketahanan  (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida
Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan  pestisida DDT, diketahui muncul strainserangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini,  telah didata lebih dari 500 spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.
Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan  hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut,  mungkin disebabkan terhindar dari efek racun pestisida,  atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis.  Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten.
2.      Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama  menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.
Resurjensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida,  sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak  berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.
3.      Ledakan Populasi Hama Sekunder
Dalam ekosistem pertanian,  diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan  hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.


III.           PESTISIDA MASA DEPAN
3.1. Adakah Pestisida Yang Ideal ?
Para ahli kimia tidak henti-hentinya mencoba mencari pestisida yang ideal. Kemajuan telah banyak diperoleh, tetapi sebegitu jauh, pestisida yang benar-benar ideal belum ada. Dilihat dari berbagai sumber, sifat-sifat ideal yang seyogianya dimiliki oleh pestisida adalah sebagai berikut:
1.      Sifat Biologi
a.       Efikasi biologis optimal (dengan kata lain efektif dan ampuh).
b.      Takaran aplikasi rendah, tidak terlampau membebani lingkungan.
c.       Toksisitas terhadap mamalia rendah, sehingga kurang membahayakan pengguna, konsumen, dan lingkungan.
d.      Sasaran spesifik, khususnya untuk insektisida.
e.       Selektif.
f.       Tidak cepat menimbulkan resisten dan resurjensi.
2.      Sifat Fisik-Kimia
a.       Tidak persisten.
b.      Tidak mudah menembus kulit manusia.
3.      Formulasi
a.       Diformulasikan dalam bentuk yang mendukung keselamatan pengguna, konsumen, dan lingkungan.
b.      Formulasinya cukup stabil.
c.       Mudah diaplikasikan.
Hal tersebut diatas merupakan hal-hal fundamental yang menjadi perhatian intensif dalam pembenahan dan meminimalisasi dampak-dampak yang timbul dari aplikasi pestisida. Sehingga penggunaan pestisida masa depan yang ramah lingkungan yang memiliki efikasi tinggi menjadi bentuk alternatif dalam aplikasi pestisida.


3.2. Biopestisida Sebagai Alternatif Pendekatan Masa Depan
Biopestisida ialah agen biologi atau produk-produk alam yang digunakan untuk mengontrol hama pada tanaman.
Biopestida juga diistilahkan sebagai pestisida biorasional. Artinya, tidak mengakibatkan pemusnahan total dari populasi hama yang ada dan organisme lain yang tidak menjadi target perlakuan. Lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat (US-EPA) memilahnya menjadi tiga kelompok besar. Pemilahan ini banyak menjadi rujukan lembaga lain di dunia, termasuk Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) serta Badan Kesehatan Dunia (WHO).
§  Pestisida microbial (microbial pesticide), yaitu jenis produk biopestisida yang mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, protozoa) sebagai bahan aktif. Secara sempit, kelompok ini sering disebut sebagai agen pengendalian hayati atau agen hayati (biological control agens).
§  Protektan Bagian Integral Tanaman (PBIT) atau Plant Incoporated Protectants (PIPs), yaitu bahan materi genetik bersifat pestisidal artinya faktor keturunan (DNA) yang dapat membentuk senyawa bersifat racun ditambahkan atau dimasukkan kedalam tanaman. Kelompok ini sering disebut sebagai tanaman transgenik (transgenic plant pesticide).
§  Pestisida biokimia (biochemical pesticide), yaitu bahan alami (natural product) yang digunakan untuk mengendalikan hama dengan mekanisme nontoksik. Yang termasuk bahan alami ini antara lain feromonoid seks (sex pheromone) dan berbagai ekstrak tanaman yang dapat memikat serangga hama. Pestisida yang berasal dari tanaman juga termasuk ke dalam kelompok pestisida biokimia.
3.3. Jenis-Jenis Biopestisida
Cakupan biopestisida sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup yang dapat difungsikan sebagai agen pengendali hayati organisme penganggu tanaman. Sementara jenis dan macamnya disesuaikan dengan sasaran target organisme penganggu. Misalnya untuk hama serangga disebut bioinsektisida, untuk jamur atau fungi disebut biofungisida, dan untuk gulma disebut dengan bioherbisida.
1.      Bioinsektisida dan Biofungisida
Bioinsektisida adalah semua organisme hidup (baik itu bakteri, virus, jamur/kapang, protozoa, tanaman, hewan) yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama.
Biofungisida adalah semua jenis organisme hidup yang digunakan untuk mengendalikan jamur yang berperan sebagai hama atau patogen. Berbeda dengan bioinsektisida yang pada awalnya dikembangkan oleh para ahli entamologi. Pengembangan biopestisida lebih banyak dilakukan oleh para ahli fitopatologi.
Pada table 1 diberikan contoh produk dari kelompok bakteri dan jamur yang telah dikemas menjadi produk komersial dan diproduksi oleh berbagai perusahan dalam berbagai merek dagang.






2.      Bioherbisida
Bioherbisida ditujukan untuk pengendalian gulma atau tanaman pengganggu. Gangguan yang dimaksud umumnya karena faktor kompetisi akan kebutuhan hidup. Gulma pada umumnya mampu hidup pada kondisi lingkungan kristis dan cepat berkembang pada habitat yang subur. Kompetisi bias terjadi karena kebutuhan nutrisi, cahaya, ruang, udara, dan lain sebagainya. Selain itu, gulma juga menghasilkan zat racun (alelopati) yang dapat mematikan tanaman lain atau tanaman budidaya.
Penelitian dan pengembangan bioherbisida sampai saat ini banyak dilakukan di Amerika dan beberapa negara Asia. Dalam pengembangannya, ternyata lebih luas lagi penelitian aplikasinya. Dilaporkan oleh Andrew Cockburn (2000), yaitu direncanakan digunakan sebagai bagian dalam perang biologi (biowar) untuk pemusnahan tanaman adiktif, seperti direncanakan untuk pemusnahan tanaman kokain dan opium di Columbia yang di sponsori oleh Amerika Serikat. Di Indinesia sendiri, tampaknya kurang mendapat perhatian, mungkin saja karena dominasi kasus hama dan penyakit tanaman berbeda.
Inventarisasi yang dilakukan oleh Charudatan (2001), kurang lebih ada 86 jenis gulma dan jamur patogen yang potensial ada sekitar 98 jenis. Dari sekian banyak, baru 5 jenis yang telah terintegrasi secara komersial yaitu, Colletotrichum gloeosporides (Collego®)(BioMal®), Phytophthora palmivora (DeVine®), Puccinia canalichlata (Dr. Biosedge®), Cercospora rodmanii (ABG 5003®), Alternaria cassia (Casst®).
3.      Tanaman Transgenik
Tanaman transgenik adalah tanaman yang merupakan hasil persilangan langsung dari faktor keturunan atau sering disebut sebagai GMO atau alur keturunan yang dilakukan melalui teknologi DNA rekombinan untuk mengatasi hama tetapi masih kurang diterima dan didukung secara legal. Oleh karenanya diperlukan penelitian lebih seksama baik terhadap lingkungan, masalah keanekaragaman hayati, dll. Pertanian skala kecil yang dilakukan dalam jangka waktu lama dapat dilakukan untuk meyakinkan biosafety dari tanaman GMO tersebut.
3.4. Manfaat dan Faktor Resiko Biopestisida
Untuk menjelaskan manfaat dan faktor resiko biopestisida tentu harus ada pembanding, yaitu pestisida kimia yang banyak digunakan dalam pengendalian OPT. memang tidak dapat dihindari bahwa setiap barang yang digunakan selalu mengandung manfaat dan resiko. Yang harus dipertimbangkan adalah seberapa besar akibat dari resiko yang ditimbulkannya.
1.      Manfaat Biopestisida
Jika dilihat dari beberapa aspek, manfaat biopestisida cukup banyak, antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Aspek sosial ekonomi
Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu runutan pada proses produksi pertanian. Penelitian dampak sosial ekonomi penerapan PHT pada tanaman pangan indosesia memang relatif sedikit. Artinya, pengendalian OPT dengan menggunakan beberapa cara serempak satu diantaranya yaitu dengan menggunakan biopestisida. Namun, dari demplot-demplot pelatihan dan penyuluhan PHT yang pernah dilakukan memberikan indikasi bahwa petani HPT memperoleh hasil panen dan keuntungan yang lebih tinggi serta pemakaian pestisida kimia lebih sedikit.
Penelitian yang dilakukan oleh Banbrook (1996) dan Oka (1996) bahwa di negara berkembang dan negara sedang berkembang, penerapan aplikasi biopestisida dalam kesatuan PHT pada usaha tani dapat menurunkan penggunaan insektisida kimia 50%-100% tanpa kehilangan hasil panen. Hasil panen meningkat dan kompensasi biaya saprodi yang lebih rendah, secara tidak langsung akan memberikan dampak ekonomi yang lebih menguntungkan dalam usaha tani.
b.      Aspek lingkungan
Isu dampak lingkungan dari penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman telah divalidasi oleh berbagai pihak, terutama FAO dan WHO. Pestisida kimia termasuk satu faktor yang dapat membahayakan keselamatan hayati, termasuk manusia dan keseimbangan ekosistem.
Dari kondisi yang cukup memprihatinkan terhadap lingkungan tersebut, muncullah pemikiran ulang untuk untuk menggunakan biopestisida dalam mengendalikan hama OPT. diharapkan biopestisida dapat mengurangi laju dampak negatif dari penggunaan pestisida yang selama ini dilakukan. Berikut ini beberapa kelebihan biopestisida secara umum serta keuntungan pestisida microbial dan pestisida nabati.
1)      Kelebihan biopestisida secara umum
-          Umumnya, biopestisida kurang beracun dibandingkan pestisida konvensional sehingga resiko bahaya yang ditimbulkan juga lebih kecil.
-          Umumnya, biopestisida hanya berpengaruh pada hama sasaran dan organisme lain yang berdekatan kerabatnya. Berbeda dengan pestisida konvensional yang berspektrum luas yaitu dapat membunuh organisme nontarget.
-          Biopestisida umumnya efektif pada jumlah (dosis) rendah dan cepat terurai sehingga pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari masalah pencemaran. Lain halnya dengan pestisida konvensional yang sering kali menimbulkan dampak residu.
-          Penggunaan biopestisida dalam program PHT dapat mengurangi banyak sekali penggunaan pestisida konvensional dengan hasil panen tetap tinggi.
2)      Kelebihan pestisida microbial
-          Tidak meninggalkan residu bahan beracun.
-          Jika digunakan dengan tepat dan benar, resiko terhadap perkembangan resistensi hama sasaran kecil sekali.
-          Tidak mengakibatkan timbulnya ledakan hama skunder.
-          Kompatibel dengan banyak jenis pestisida kimia, parasitoid, predator, dan patogen lainnya.
-          Memungkinkan pengendalian hama jangka panjang.
-          Kemampuan produksi masal dengan patogen fakultatif.
3)      Kelebihan pestisida nabati
-          Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik yaitu tidak meracuni (nontoxic).
-          Penggunaanya dalam dosis yang rendah.
-          Mudah diperoleh di alam.
-          Cara pembuatannya relatif mudah dan secara social ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani mikro di negara sedang berkembang.

c.       Aspek budidaya pertanian
Manfaat ditinjau dari aspek budidaya adalah menguntunkan pada saat aplikasi biopestisida yang tidak perlu intensif dalam melindungi tanaman.
Pestisida kimia umumnya bekerja dan keberadaanyan di dalam tanah hanya pada tenggang waktu yang relatif singkat sehingga menghasilkan residu akibat persistensi. Berbeda dengan biopestisida khususnya seperti biofungisida yang sekarang banyak dipasarkan yaitu bersifat melindungi sistem perakaran, menempel pada tanah dan akar, serta tidak terlarut oleh air. Kelebihan lainnya, mikrobia yang digunakan juga mengeluarkan bahan aktif seperti hormone pertumbuhan yang dapat memacu pertumbuhan akar tanaman sehingga sistem perakaran lebih sempurna yang akan berpengaruh pada produksi tanaman budidaya.


2.      Faktor Resiko Biopestisida
Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), resiko yang di timbulkan biopestisida terhadap lingkungan relatif kecil jika dibandingkan bahan kimia sintetis. Hal ini disebabkan oleh bahan penyusun biopestisida sebagian besar adalah bahan alam. Namun, dalam beberapa hal terdapat jenis-jenis mikroba tertentu yang dapat menyebabkan infeksi toksis pada hewan dan manusia. Pada jenis jamur yang patogen terhadap serangga seperti Beauveria sp. dan Metarhizum sp., ada yang diduga dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Di dalam Journal Clinical Microbiology, para peneliti menemukan sejenis jamur Beauveria sp. yang menginfeksi jaringan dalam tubuh pasiennya dan menimbulkan gejala gatal-gatal, korengan, dan kulit melepuh.
Demikian pula dengan tanaman transgenik walaupun dapat dikatakan sukses, tetapi hingga saat ini masih banyak perdebatan antara pakar dan peneliti tentang dampak jangka panjang dan potensi terhadap lingkungan. Kekhawatiran itu timbul dengan alasan sebagai berikut:
a.       Kemungkinan akan terjadi persilangan dan penyisipan faktor keturunan pada tanaman nontarget.
b.      Tanaman transgenik cenderung mendominasi populasi pada suatu kawasan tertentu.


IV.           PENUTUP
Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan pemakaian pestisida yang tidak bijaksana, semoga menggugah kesadaran kita untuk tidak selamanya bergantung kepada pestisida. Untuk menanggulangi organisme pengganggu tanaman, masih terdapat teknologi  lain yang dapat diterapkan, yang  relative tidak berdampak negatif bagi manusia demikian juga bagi lingkungan hidup. Pestisida seharusnya tidak lagi “didewakan” sebagai satu-satunya teknologi penyelamat produksi. Melainkan disarankan digunakan hanya bila perlu saja sebagai alternatif terakhir.  Sedapat mungkin penggunaanya diupayakan dengan bijaksana.
Sejalan dengan maksud tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1986 telah mengeluarkan kebijakan dan tindakan yang dapat membatasi dan mengurangi penggunaan pestisida. Melalui Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 program penanganan organisma pengganggu tanaman  adalah dengan menerapkan prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai program nasional, yang merupakan upaya untuk mengantisipasi dampak buruk pemakaian pestisida.
Penggunaan biopestisida sebagai alternatif pengendalian OPT serta Pengarahan dan penggunaan yang lebih tepat kepada para penggunaan dalam hal pemberian dosis, waktu aplikasi, cara kerja yang aman. Di masa yang akan datang diharapkan penggunaan pestisida akan berkurang. Dan didukung oleh adanya penemuan-penemuan biopestisida baru yang lebih efektif dalam mengatasi gangguan dari jasad pengganggu ini sebagai pestisida masa depan.


DAFTAR PUSTAKA
Bottrel, D.G. 1979. Integrated Pest Management. Council of Environ. Quality. Washington D.C.
Djojosumarto, Panut. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap Lingkungan. Seminar terbatas  19 Maret 1981 Lembaga Ekologi Unpad Bandung.
Kenmore, P.E. 1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter. VII (7). IRRI. Manila. Philippines.
Mc Ewen, F.L. and G.R.Stephenson. 1979. The Use and Significance of Pestiside in The Environment. A Wiley Intercience Publication. John Wiley & Sons, New York.
Mulyani, S. dan M. Sumatera. 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Pimentel, D. 1971. Ecological Effects of Pesticides on Nontarget Species. Office of Science and Technology. Washington D.C. Stack Number 4106-0029.
Pimentel, D. 1982. Environmental Aspects of Pest Management. Chemistry and World Food Suplies. Chemrawn II. Pergamon Press.
Smith, R.F and J.L. Apple. 1978. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.
Smith, R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In:Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.
Suwahyono, Untung. 2009. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.